Jumat, Agustus 07, 2009

Bendera di Tempat Sampah

Sapto Pudjo Hw

Tidak terasa Bulan Agustus telah tiba lagi, dengan acara ritual tujuhbelasannya. Kenangan saya di saat masih kecil atas bulan Agustus adalah suasana panas musim kemarau, upacara di tengah terik matahari, bendera yang berkibar dimana-mana, pramuka, baris berbaris, karnaval dan semua kegiatan yang menyentuh jiwa kepahlawanan serta perjuangan.
Pada suatu upacara bendera hari Senin di halaman sekolah SMP Pius Kutoarjo – di saat agustusan – di tahun 1973, terjadi peristiwa yang tidak terlupakan oleh saya sampai saat ini. Rupanya teman petugas yang menaikkan bendera tidak mengikat erat simpul tali tiang bendera, sehingga saat bendera hampir sampai diatas terlepaslah simpul itu dan menyebabkan bendera melayang turun. Tiba-tiba dari barisan guru terdengar teriakan, “Selamatkan bendera.........!” bersamaan dengan melompatnya pak Guru Soenarjono yang dengan sigap segera menyambar bendera sesaat sebelum menyentuh tanah. Bendera itu memang selamat tidak sampai jatuh menyentuh tanah, dan upacara itupun dilanjutkan dengan suasana lebih khidmat.
Bukan karena kebetulan saya seorang anak tentara yang senang kepramukaan, sehingga teriakan peringatan itu masih terngiang di telinga ini. Dulu..... kami diberikan pengertian bahwa Bendera Merah Putih adalah bagian dari lambang-lambang negara yang harus dihormati keberadaannya. Apalagi cerita kepahlawanan dan pertempuran merebut kemerdekaan, selalu membuat hati kami berdebar-debar membayangkan keadaan saat nyawa mereka meregang dalam perang kemerdekaan. Teriakan keras pak guru yang menyelamatkan bendera itu mampu membuat saya merinding tergetar.
Itu memang cerita zaman dulu yang sering menjadi bahan tertawaan jika diceriterakan saat ini, salah-salah malah dianggap awal kepikunan karena mengagung-agungkan masa lampau “Ah...... itu ‘kan dulu, pak”. Saat ini di alam demokrasi dan reformasi keadaan itu seolah sudah berubah. Hampir tidak ada aktifitas demonstrasi dengan melibatkan massa besar, yang tidak membawa bendera merah putih. Jumlah benderanyapun mungkin saja sebanyak spanduk dan poster yang dibawa untuk berunjuk rasa. Ketika sedang berjalan, apalagi terjadi benturan fisik antara kedua belah pihak maka tidak terelakkan lagi bendera itu menjadi alat tawuran diantara mereka. Sungguh......... timbul rasa miris di hati ini, justru karena kenangan masa lalu yang saat ini mungkin sudah ketinggalan zaman. Tapi benarkah sudah sedemikian ketinggalan zaman?
Jika bendera negara itu adalah alat untuk membangkitkan semangat juang, maka dalam sejarah perang mulai zaman Gadjah Mada sampai di Negara Mushasi pun, bendera berada dibelakang pasukan dan diagungkan keberadaannya. Jatuhnya bendera ke tanah dalam peperangan menunjukkan kekalahan pihak itu. Pembawa bendera dilindungi oleh pasukannya, karena mereka ingin tetap melihat panji-panji negaranya berkibar terus. Dalam urusan panji-panji negara yang bernama bendera ini, alangkah berbedanya saat ini dengan masa lalu. Apakah ketidakpedulian terhadap keberadaan bendera berbanding lurus dengan rasa nasionalisme di dada pemudanya? Ah..... alangkah naifnya jika itu bermakna jika jatuhnya kehormatan negara bukan lagi merupakan kepentingan kita. Bahkan membuat sedikit merinding sajapun tak mampu - apalagi pagi ini saya melihat bendera yang diagungkan itu berkibar di tempat sampah.
Salam saya.............. MERDEKA !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar