Jumat, Agustus 14, 2009

Jambu Mede dan Keterbatasan Logika


Di halaman depan gedung pertemuan di Kota Cilacap tumbuh sebatang pohon Jambu Mede (Jambu Mete, Jambu Monyet) yang saat itu berbuah matang cukup banyak. Kemarin sore saya mengamati di bawah pohon itu berserak lebih dari 15 buah jambu mede yang jatuh karena sudah terlalu matang di pohon. Buahnya utuh, kulitnya merah jingga tua dan halus tanda tidak berulat. Bijinya pun utuh dan besar-besar, katanya bentuk ideal untuk membuat isi Cokelat SilverQueen yang mahal itu. Saya tidak melakukan apapun hanya menatap “sampah” itu, namun saat itu kembali terbayang kenangan puluhan tahun yang lalu ketika masa indah kanak-kanak dirasakan. Waktu itu buah jambu mede seperti ini hampir tidak pernah saya jumpai di pohon. Hal ini karena tanpa sempat menjadi tua ketika kulit buah baru berwarna kuning jingga, pastilah tangan kami telah gatal untuk memetiknya. Dengan bekal sejumput garam maka buah jambu mede setengah matang itu merupakan hidangan lezat tak terkira. Hari itu, meskipun ada dorongan dalam hati ingin memungut buah jambu di depan gedung tapi hati ini terasa untuk berat melakukannya. Mengapa?

Rupanya di dalam benak hati saya tertanam bisikan bahwa sungguh tidak logis kalau saya yang adalah pekerja di sebuah perusahaan dan sudah berumur setengah abad ini memungut buah jambu yang jatuh itu. Logika itu menjadi belenggu tangan dan kaki saya untuk kembali bernostalgia mencicipi buah jambu mede, bahkan yang tersedia di depan mata. Logika dan rasio pada saat itu menjadi penapis masuknya rangsang informasi yang dulu juga merupakan penapis yang sama ketika kita masih kanak-kanak. Nah… inilah yang menarik untuk dicermati.

Seperti kata para cerdik pandai, otak manusia terdiri dari 2 bagian kiri dan kanan dengan berbagai fungsi kegunaannya. Khususnya yang berhubungan dengan fungsi luhur manusia, maka otak kiri sangat berperan dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan logika dan matematika. Segala ilmu eksakta, nilai tatanan dan rasio tertata rapi di hemisphere kiri ini. Sebaliknya, di otak kanan tersimpan semua aktifitas yang berkaitan dengan rasa dan keindahan. Emosi, empati, simpati dan rasa indah – tersusun di sisi otak kanan ini. Memang harus diakui bahwa peran otak kanan ini sangat sering menjadi tidak logis karena memang tidak dapat di logika. Apakah anda pernah membaca novel atau cerpen yang membuat anda menangis? Atau menonton meninggalnya tokoh sinetron yang membuat anda mencucurkan air mata, padahal tokoh itu bukan saudara atau kenalan anda? Ya..... perilaku ini ini sungguh tidak logis, tidak rasional namun inilah makna peran otak kanan kita. Selain emosi yang mungkin terkesan cengeng itu, pada otak kanan ini terdapat juga ide, inovasi, dan mimpi – yang memang sering tidak logis – namun dalam sejarahnya ternyata mampu mengubah pola kehidupan umat manusia.

Galileo memang seorang ahli matematika, namun penemuannya mengenai matahari sebagai pusat peredaran jagad raya saat itu memang tidak logis. Ia sebenarnya juga menjabarkan ketidaklogisan Copernicus yang mendahuluinya mengatakan hipotesa yang sama. Saat itu penemuan itu sungguh tidak rasional karena bertentangan dengan logika masyarakat. Ada juga tokoh Socrates yang harus mati minum racun karena pendapatnya tidak logis dan ajarannya dianggap berbahaya bagi masyarakat. Nyatanya, dengan berjalannya waktu pendapat yang dulu dianggap logis ternyata saat ini menjadi tidak logis, dan sebaliknya yang dulu dianggap tidak nalar sekarang menjadi bernalar.

Otak kiri dan otak kanan memang harus dibiasakan berjalan seimbang agar tidak pincang. Kesimpulannya, berlatihlah juga menggunakan otak kanan untuk dapat mengerti bahwa sesungguhnya logika kita terbatas, otak kita tidak dapat menyelesaikan semua masalah rasional. Juga belajar dari para tokoh sejarah, jangan merasa bangga ketika saat ini seolah dapat menjabarkan semua aspek kehidupan menjadi logis dan rasional, karena ada masa yang akan datang di saat mana segala yang logis menjadi justru tidak logis. Biarlah kita memberikan kebebasan pikiran kita untuk menyerap keindahan untuk melahirkan ide, inovasi, dan mimpi.

Bagaimana nasib buah jambu mede di depan gedung pertemuan itu?
Seorang sopir salah satu mobil yang parkir di halaman itu, berbekal tas plastik hitam dengan tenangnya mengumpulkan buah-buah matang yang berjatuhan itu. Apakah orang ini tidak punya logika seperti saya? Dia juga mempunyai logika, namun ia tidak terbelenggu oleh status dan segala atribut lain – yang menyebabkan hilangnya keindahan makan jambu mede.

Lalu siapakah sesungguhnya diantara kami yang saat itu berbahagia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar