Jumat, September 11, 2009

Keindahan dan Bahagianya Tidur

Pada tanggal 6 Agustus 1997 terjadi kecelakaan udara Pesawat Korean Air Flight N0. 801 saat melakukan pendaratan di Antonio B. Won Pat International Airport, Guam. Suara rekaman kokpit yang terdengar sebelum terjadinya kecelakaan adalah kata-kata pilot, “...benar-benar...mengantuk”. Kelelahan pilot tersebut akhirnya diputuskan sebagai penyebab utama tragedi tersebut, yang dibayar dengan 228 orang menjadi korbannya dan hanya 26 orang yang selamat. Di sisi lain, suatu data pada tahun 2006 menunjukkan bahwa orang-orang di Amerika banyak mengonsumsi obat untuk membantu tidurnya. Setidaknya dalam setahun diperkirakan ada 42.000.000 resep obat tidur untuk orang dewasa dan anak-anak. Lebih setengah dari seluruh orang dewasa di Amerika menderita insomnia beberapa kali dalam seminggu.

Cerita dan fakta diatas menunjukkan bahwa aktifitas tidur ternyata sangat memengaruhi kehidupan manusia. Ada sekelompok orang yang sangat ingin tidur, tapi tak punya waktu untuk itu. Ada juga yang memiliki banyak waktu untuk tidur, namun mereka gagal melakukannya. Satu hal yang pasti adalah bahwa setiap individu manusia memerlukan waktu untuk beristirahat setelah melakukan akktifitas. Bayangkanlah suatu sistem mesin baik di mobil ataupun mesin, yang padanya tidak pernah diberikan kesempatan untuk beristirahat. Istilah fatique menggambarkan kelelahan dari organ mesin yang tidak pernah berhenti bekerja. Bayangkan pula suatu taman hiburan yang banyak dikunjungi orang dan buka 24 jam setiap harinya, 7 hari dalam seminggu. Jika tidak pernah ada kesempatan untuk membersihkan area permainan dan restoran, maka dapat dipastikan sampah akan menumpuk, kotor dan tidak sehat. Demikian pulalah yang dialami oleh tubuh yang tidak beristirahat, ia akan letih, kotor dan tidak sehat.

Namun rupanya untuk dapat menikmati tidur yang lelap dan sehat, ternyata diperlukan suatu rangkaian kondisi dan situasi tertentu. Hal ini memang tidak selalu disadari oleh tiap orang, khususnya bagi mereka yang tidak pernah mengalami gangguan tidur karena bagi mereka tidur adalah aktifiitas yang tidak perlu didiskusikan. Tidur memang memiliki beberapa prasyarat seperti keletihan tubuh setelah bekerja, tempat yang nyaman, dan hati yang damai. Manakah dari 3 variabel itu yang paling dominan?

Sekelompok orang yang memiliki kesempatan untuk tidur, namun tidak dapat melakukan dan menikmatinya, masuk dalam kelompok insomnia. Mereka sudah lelah bekerja, mereka memiliki uang untuk membeli resep untuk mendapatkan tidur yang nyenyak. Pada kelompok inilah data kondisi di Amerika tentang pemakaian obat tidur dapat dicermati, meskipun untuk masalah data seperti itu negara kita tergolong dalam negara miskin (data). Jadi, jika demikian halnya maka bukankah hati yang tenang dan damai merupakan faktor dominan untuk mengantar seseorang memperoleh kenikmatan tidur yang membahagiakannya.

Masalahnya kemudian adalah menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana dan dimanakah dapat ditemukan hati yang damai dan bahagia itu?

Banyak orang yang meyakini bahwa kehidupan itu keras dan kejam. Segala daya upaya dan kekuatannya dikerahkan untuk menaklukkan dan menguasai kehidupan. Tetapi siapakah manusia itu? Benarkah ia yang terbatas memunyai kekuatan untuk menaklukkan yang tak terbatas itu? Ketika ia merasa telah melampaui puncak gunung yang satu, ternyata itu adalah suatu dasar lembah bagi gunung permasalahan berikutnya.

Ingin tidur dengan nyenyak?
Pandang dan teladanilah gambar foto diatas. Tubuh renta dan lelah Sang Pengelana jalanan tersebut dapat membawanya menemukan keindahan tidur, bahkan ketika matahari telah meninggi dan keributan lalu lalang orang terdengar disekitarnya. Apakah karena ia tidur di depan pintu kuil dan ia merasakan bahwa Sang Dewi telah menjaganya?

Bukankah tidur yang indah didapatkan justru ketika kita bersedia menaklukkan diri di KakiNya?

Jumat, September 04, 2009

Bang Djalal dan Pengemis Tua

Pagi itu ada suatu hal yang istimewa. Bang Djalal senior saya di tempat kerja meneteskan air mata. Ia menuturkan kisah perjumpaannya dengan seorang pengemis perempuan tua yang mampu membuatnya layak berurai air mata. Keistimewaannya justru datang dari pribadi Bang Djalal sendiri dan sikapnya yang tidak seperti biasanya. Bagi yang cukup dalam mengenalnya, dia adalah pribadi yang kokoh, pantang baginya minta belas kasihan apalagi berurai air mata karena perjalanan hidupnya menjadi dia yang saat ini adalah jalan hidup yang keras dan tajam. Kehidupan sebagai penyemir sepatu, kernet dan sopir angkot, sampai berdagang, pernah dilakoninya, diusia remajanya. Ketika saat ini telah hidup bahagia dan mapan dangan 3 orang anak yang berbakti, dia masih dapat mengingat semua masa lalunya. Ia menghormati setiap orang yang mau bekerja keras, namun sangat tidak senang pada orang malas dan hanya meminta belas kasihan orang lain. Nah….. baginya pengemis adalah lambang kemalasan itu. Tak terbilang kali ia bersitegang untuk tidak tiap waktu memberi pada peminta-minta, ketika anak-anaknya bersiap membuka kaca mobil mengulurkan uang sedekah.

“Pagi itu seperti biasa saya berangkat kerja lewat Jatiwaringin menuju arah Cawang”, demikian Bang Djalal mulai menuturkan ceritanya. Sudah beberapa waktu ini ada seorang ibu tua yang selalu duduk di perempatan lampu merah, walau hari masih sangat pagi. Ada rasa kasihan tersirat dalam hati, dan saya sudah memberikan uang recehan kepadanya dalam beberapa pagi ini, meskipun saya sebenarnya tidak begitu suka. Tapi pagi ini suasana hati saya agak lain….. Kebetulan saya berangkat agak kepagian, sehingga rasanya masih ada waktu untuk berhenti sejenak. Saya memarkir mobil, dengan penuh rasa penasaran saya datang menghampiri perempuan tua, Pengemis itu. Dari dekat tampak tubuhnya yang renta dibalut baju yang seadanya. “Nek..nenek…! Nenek rumahnya dimana..?” saya bertanya memulai percakapan. Nenek tua itu memandang saya, seakan tidak percaya bahwa ada orang yang mengajaknya berbicara di remang pagi itu. Kepalanya kemudian dimiringkan ke sisi kanan, mencoba mendekatkan telinganya kepada saya dan tahulah saya bahwa kemampuan mendengarnya sudah berkurang.

Sejenak kemudian tahulah saya bahwa nenek itu hidup sebatang kara di kota besar ini. Anaknya 5 orang namun entah kemana mereka semua, tak ada kabar beritanya. Nenek itu tinggal dengan cara mengontrak kamar kecil. “Untuk orang lain sewanya 200 ribu, tapi oleh yang punya nenek dapat potongan jadi cuma 150 ribu rupiah sebulan…..”, kata pengemis itu. Setelah berbicara beberapa saat rasa hati saya semakin tidak karuan dan saya sudah tidak tahan lagi. Sebelum pecah bendungan air mata, saya merogoh saku dan mengambil sebagian besar uang yang ada disaku entah berapa tak sempat saya hitung lagi berapa jumlahnya dan menggenggamkannya ditangan yang berkeriput itu. Nenek tua itu terkejut, matanya membeliak tak percaya, tangan saya direngkuhnya dan digoncang-goncangkan sambil berkata, “Terima kasih…terima kasih…,nak”. Saya segera berpamitan sambil menahan haru dan bendungan air mata jebol saat saya berada dalam mobil, bahkan sepanjang perjalanan ke kantor bulu kuduk ini masih meremang dan saputangan telah kuyup dibasahi air mata yang tak henti berurai.

Satu wajah yang segera tampak di pikiran ini adalah wajah ibu yang sangat saya cintai yang berada jauh di Kuala Simpang. Nenek itu mungkin seusia beliau, jadi saya membayangkan kalau beliau menjadi renta dan papa karena kami anak-anaknya tidak memerhatikan, seperti anak-anak nenek tua pengemis itu. Bukankah nenek tua itu memiliki anak? Bagaimana mungkin mereka semua melupakan ibu yang melahirkan mereka di dunia ini dengan bertaruh nyawa? Adalah kebetulan jika hari ini adalah tanggal 13 Ramadhan 1430 H, artinya bagaimana mungkin mereka menjalani puasanya tanpa membersihkan diri dan mohon pengampunan dari orang yang paling layak dihormati itu…?

Selanjutnya….. apakah masih ada produser reality show di televisi yang akan mampir di perempatan itu untuk memberikan uang kaget atau membedah rumah nenek tua yang sebatang kara itu? Ah…. Itu mungkin harapan muluk Pungguk Merindukan Bulan, namun satu hal yang saya dapatkan pagi ini adalah kaca mobil saya seolah ada yang mengetuk agar saya menoleh dan berhenti untuk memberikan perhatian kepada seorang ibu tua papa yang dalam kesendiriannya.
Sampai disini cerita dari Bang Djalal itu berakhir.

Dia, nenek tua pengemis itu mungkin selama ini tidak berarti bagi kita semua, namun DIA Sang Pemilik Kehidupan ingin menyatakan bahwa di HadiratNya semua insan CiptaanNya itu sangat berharga.

Catatan kecil:
Saat ini Pemerintah Daerah kota ini sedang gencar melaksanakan Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, termasuk menertibkan gelandangan dan pengemis. Mengemis adalah aktifitas yang dilarang, dan memberikan sedekah bagi mereka juga dapat dipidanakan. Semoga ada jalan yang berakhir indah bagi nenek pengemis tua itu.

Sumber gambar: http://soulmate-jie.blog.friendster.com/ dan http://kekecr7.blogspot.com/

Selasa, September 01, 2009

Aldonza Lorenzo


Beruntunglah anda yang pernah membaca Kisah Don Quixote atau bahkan yang beruntung sempat menyaksikan pagelaran opera klasik ini, karena anda akan berkenalan dengan Don Quixote dan Aldonza.

Don Quixote adalah pahlawan fiksi dalam naskah buah karya Cervantes di tahun 1605, yang diceriterakan berpetualang bersama pembantunya, Sancho. Pada imajinasi Don Quixote yang papa dan sepuh itu mereka sedang berjuang membebaskan seorang puteri yang diculik seekor naga. Faktanya, yang mereka perangi ternyata adalah benda yang mati, sebuah rumah kincir angin.

Siapakah Aldonza Lorenzo?

Ia adalah perempuan desa, wanita penghibur yang ditemui pahlawan kita di sebuah kafe. Diceriterakan bahwa Don Quixote jatuh cinta pada wanita itu dan memanggilnya dengan sebutan Lady Dulcinea, yang berarti Si Cantik. Maka….berteriaklah Aldonza dan mengatakan bahwa ia bukan puteri, tapi hanya sampah masyarakat. “Mereka membuang aku, mereka memalingkan wajah mereka dariku dan mencemoohkanku…. Aku adalah sampah”, demikian teriakan Aldonza dalam suatu lagu yang menarik.

Cerita ini menjadi semakin menarik ketika Don Quixote dengan segala kegagahannya tetap meyakinkan Aldonza bahwa cintanya tak lekang oleh pandangan dan penilaian orang terhadap pilihan hatinya. Baginya Aldonza adalah tetap Lady Dulcinea dan itu cukuplah untuk membuatnya berani menghadapi dunia, “Her name is Dulcinea, her kingdom, Toboso, which is in La Mancha, her condition must be that of princess, at very least, for she is my queen and lady, and her beauty is supernatural, for in it one finds the reality of all the impossible”.

Di akhir cerita babak ini adalah penerimaan dan kesadaran Aldonza untuk mengangkat harga dirinya sendiri, membenarkan dan menerima kehadiran Don Quixote apapun kata orang. Baginya sang Ksatria adalah seorang pangeran yang layak bersanding dengan dirinya sebagai lady.

Benarlah pesan yang ingin disampaikan bahwa TUHAN tidak pernah menciptakan manusia sebagai sampah. Manusia itu sendirilah yang merasa berhak menghakimi sesamanya sebagai sampah, atau bahkan mereka sendirilah yang memberikan harga dirinya senilai sampah.

Sumber lukisan: http://www.donquijote.org/

Di Sebuah Pojok Bahagia


Sekuen gambar foto ini saya peroleh di salah satu sudut Bandara Soekarno Hatta. Seorang pemuda duduk dengan tenang untuk bertelepon di tengah hiruk pikuk lalu lalang penumpang pesawat. Wajah pemuda itu dihiasi senyuman indah yang hanya dia sendiri yang tahu apa maknanya. Di tangannya tergenggam 2 handphone, satu tertempel di telinganya sedangkan yang lain tampaknya siap menggantikan peran handphone pertama jika waktu bicara atau pulsa habis. Hingar bingar suara sepatu dan trolly yang diseret orang yang lewat di depannya, tidak mengusik ketenangannya dan tidak menghilangkan sunggingan senyum di bibirnya. Adalah kebetulan bahwa ternyata mereka yang berlalu lalang itu pun tidak mempedulikan keberadaan sosok pemuda tersebut.

Jika ditilik dari ekspresi dan suasana yang ditunjukkan oleh pemuda itu, maka jauhlah dia dari kondisi yang tidak menyenangkan. Dia tampak senang yang ditunjukkan dari senyum dan tawanya yang sesekali lepas, juga tampak dari gerak mata, bibir dan tangan yang seolah ia sedang berbicara dengan seseorang yang sangat menyenangkan hatinya.

Bagi beberapa orang diantara kita barangkali berpikiran apa manfaatnya menghabiskan waktu berlama-lama di sudut bandara itu? Apakah logis yang dilakukan pemuda itu? Di tengah kesibukan dunia yang berpedoman pada Time is Money, maka sungguh tidak masuk diakal jika ada orang mau yang menghabiskan waktu berpuluh-puluh menit untuk berbicara yang tidak produktif. Mengapa ia tidak mengadopsi Kisah Bill Gates? Konon Bill Gates manusia terkaya di planet ini sering diilustrasikan kesibukannya dengan nilai uang yang diperolehnya. Jika Bill Gates sedang berjalan dan menemukan di jalan yang dilaluinya uang US$ 100 (senilai 1 juta rupiah), maka ternyata ia harus berpikir dua kali. Apakah akan membungkuk untuk mengambil uang tersebut ataukah tetap berjalan, karena untuk membungkuk dan mengambil uang itu ia perlu waktu lebih dari 1 detik padahal penghasilannya saja jika di rata-rata dapat lebih dari US$ 100 per detiknya.

Pada banyak waktu, ternyata manusia sering terjebak pada logika yang membatasinya mengenal aspek lain dari kehidupan. Semua yang dilakukannya selalu dirujuk pada nilai referensi yang dimilikinya – yang bernama logika. Sesuatu yang baginya tidak logis akan menyebabkan ia menyatakan hal itu tidak memiliki nilai, sementara nilai yang dianut itu juga merujuk pada suatu nilai yang barangkali justru tidak bernilai bagi orang lain. Menilai dengan besaran uang – misalnya. Di banyak akhir kisah perjalanan hidup seseorang yang telah berlelah-lelah di bawah terik matahari, sering justru muncul pertanyaan “Untuk semua harta yang kucari inikah aku hidup….?”

Ulasan sekuen seorang pemuda yang sedang mojok, tidak dimaksudkan untuk menafikan segala usaha manusia mencari kehidupan yang lebih baik – lebih dari sekedar senyum dan tawa bertelepon. Gambaran kehidupan lain dari kesibukan bandara internasional yang ditunjukkan oleh keberadaan pemuda itu, ingin mengatakan bahwa keindahan dan kebahagiaan itu sesungguhnya tidak terlalu jauh jaraknya dari keberadaan kita. Inilah sesungguhnya anugerah lain yang ingin ditunjukkanNya kepada mereka yang merasa tak pernah menjumpai keindahan dan kebahagiaan itu.

Jika arah jalan hidup ini adalah untuk mencari kebahagiaan, maka tampaknya pemuda tersebut telah menemukan nilai yang dicari itu - meski cuma sesaat. Ia menemukan di tengah banyak orang yang berjalan sangat tergesa-gesa – justru dalam upaya mereka mencari rasa bahagia itu.