Sabtu, Juni 26, 2010

“MEREKA TIDAK MEMBERIKAN YANG TERBAIK”




Cerita ini adalah suatu pengalaman pribadi memanfaatkan moda transportasi umum yang bernama Bis Malam. Suatu pengalaman perjalanan yang tidak menyenangkan dalam suatu kondisi ketidakberdayaan konsumen terhadap pengusaha atau birokrasi pengusaha angkutan umum.
Minggu pagi tanggal 20 Juni 2010 saya membeli tiket bis di agen resmi Bis Malam Sumber Alam, untuk tujuan Jakarta tiket eksekutif Rp. 120.000. Keputusan memilih Bis Malam Sumber Alam setidaknya memiliki 2 alasan. Pertama, Bis DAMRI (yang kebetulan pool-nya di dekat rumah) kelas eksekutif tiba-tiba dinyatakan oleh agennya,”Tidak bisa jalan…” tanpa diketahui alasannya. Kedua, saya mengenal Bis Sumber Alam yang pusatnya di Kota Kutoarjo Jawa Tengah, sebagai perusahaan besar bis antar kota dengan ratusan armada kendaraan tersedia di pool dan garasinya. Jika kita mencoba iseng membuka mesin pencari Google pun akan kita jumpai ratusan tulisan dan gambar mengenai Bis Sumber Alam ini. Bahkan suatu situs multiply berkeinginan untuk menjadikan perusahaan ini sebagai “terbaik di dunia”. Nah… jadi memilih “berinvestasi” 120.000 rupiah untuk memilih bis malam ini tentunya bukan pilihan yang keliru. Tentu saja pembandingnya adalah Bis DAMRI yang batal berangkat tadi, dengan tarif yang “hanya” Rp. 75.000,-
Namun apa kenyataannya?
Datang sebuah bis yang sejak awal seharusnya tidak usah mencantumkan kata “Eksekutif” di lambungnya. Petugas mengantar ke tempat duduk – yang ternyata “pilih saja sendiri…” dalam suasana AC yang seadanya, dan toilet yang terpampang tulisan “rusak” dengan aroma pesing dan busuk - seperti foto di samping ini. Seorang anak balita sudah menangis sejak awal perjalanan dan Sang Ibu bergantian dengan Ayah menjadi Tukang Sate untuk menipasi anaknya agar tidak menangis dan mengganggu penumpang lain. Bagaimana dengan bangkunya? Jauh dari bayangan “reclining seat” yang nyaman, pilihannya hanya satu posisi yang tidak bergerak, bahkan ada beberapa bangku yang tidak dapat diduduki lagi - seperti tampak di gambar berikutnya.
Lebih seru lagi karena bis ini ternyata merupakan “gabungan” dari beberapa jurusan terminal akhir. Saya berencana turun di Pulogadung, anak muda sebelah saya pesan tiket untuk Terminal Pondok Ungu, dan dari menguping beberapa penumpang di bangku depan ternyata mereka dijanjikan untuk diantar sampai Cibitung (?). Nah…. Setidaknya dengan demikian ada 2 bis yang dibatalkan keberangkatannya, karenasemua penumpangnya sudah dialihkan dalam satu bis ini.
Lalu…. Mengapa penanggung jawab keberangkatan bis Sumber Alam tidak memilihkan satu bis yang layak merepresentasikan nama besar perusahaan Bis Sumber Alam yang terkenal dan pernah masuk MURI itu?
Dengan kondisi seperti itu maka rasanya tak perlu lagi menceriterakan betapa tidak nyamannya perjalanan melewati malam yang panjang. Serapah dan gumam penumpang sudah jadi bagian kegiatan sambil bertipas-tipas. Lagi pula bis ini tampaknya tidak dapat berlari kencang malsimal hanya sekitar 60 Km per-jam di jalan lurus bahkan di tol. Maaf, saya tidak dapat memastikan kecepatan bis ini karena memang tidak ada speedometer-nya dan puluhan bis malam lain telah bersimpang siur mendahului kami dari kanan kiri bis kami. Apa akibat selanjutnya…pasti sudah dapat ditebak, yaitu masuk Tol Cikampek di waktu hari sudah ambang siang. Berbarislah kami dalam kemacetan panjang kendaraan yang masuk Jakarta di Hari Senin itu.
Tahukah siapa sesungguhnya yang paling sedih saat itu?
Ya… benar, pak Sopir yang terlihat culun dan berkali-kali menggelengkan kepalanya mungkin menahan kantuk atau menahan kekesalan hatinya. “Saya hanya orang kecil yang mendapat perintah untuk membawa mobil ini….” Itulah gumamnya yang sempat saya dengar. Nah…. Lalu siapa yang bertanggung jawab atas ketidaknyamanan para penumpang ini?
Jika itu adalah petugas yang memberi dan membagi tugas untuk para pengemudi, maka apakah ia tidak berpikir bahwa ia sedang merusak citra perusahaan bisnya? Yang lebih parah lagi jika keputusan itu sepaham dengan para manajemen di perusahaan bis itu – yaitu untuk memberikan layanan yang seadanya – bukan yang terbaik – karena para penumpang tidak mungkin akan protes.
Satu pelajaran yang saya dapat dari perjalanan ini adalah – dalam bisnis pelayanan (services) anda seharusnya selalu memberikan yang terbaik bagi pelanggan – tidak boleh ada kata lelah atau celah sedikitpun. Inilah dasar pilihan judul tulisan ini yang merupakan gumam terakhir saya sebelum membuka kunci pintu rumah di Senin menjelang siang itu, “Mereka tidak memberikan yang terbaik..”