Sabtu, Agustus 29, 2009

Pulau Nusakambangan

Apa ada yang dalam persepsi kita jika mendengar kata Pulau Nusakambangan? Hampir dapat dipastikan bahwa yang muncul adalah gambaran sebuah pulau di sebelah selatan Kota Cilacap sebagai yang menyeramkan tempat pembuangan orang yang dianggap berbahaya. Narapidana yang mendapat hukuman penjara lebih dari 5 tahun memiliki peluang dikirim ke pulau tersebut, apalagi penjara di kota semakin penuh sesak oleh terpidana yang lebih ringan. Gambaran Nusakambangan sebagai pulau yang menyeramkan tidak dapat disalahkan. Bayangkan saja, sejak zaman dulu sampai saat ini pulau ini telah diperkenalkan kepada anak-anak SD sebagai Pulau Narapidana.

Di atas pulau yang dikelilingi Samudra Indonesia seluas lebih kurang 30.000 hektar itu setidaknya berdiri 5 Lembaga Permasyarakatan (LP) dari 10 LP yang semula beroperasi. “Institusi” yang masih aktif itu adalah LP Permisan yang paling tua (dibangun tahun 1908), LP Batu (1925), LP Besi (1929), LP Kembangkuning (1950). Satu lagi adalah LP Pasir Putih yang baru selesai pembangunannya 2 tahun yang lalu, dengan sebutan yang tidak kalah menyeramkan sebagai LP dengan Super Maximum Security (SMS). Lima LP lain yang telah di tutup dan hanya tersisa reruntuhannya adalah LP Nirbaya, LP Karang Tengah, LP Timus Buntu, LP Karang Anyar, dan LP Gleger. Berikutnya adalah cerita petualangan lolosnya Johny Indo, tereksekusinya pelaku Bom Bali, dan cerita seram lainnya, telah melengkapi semakin menjauhnya Pulau Nusakambangan dari persepsi keindahan.

Tapi tunggu dulu, benarkah tidak ada yang indah di pulau ini. Ya.... ternyata ada dan banyak. Di Pantai Permisan tidak jauh dari LP tertua itu terhampar lautan luas Samudra Indonesia dengan deburan ombak menghantam karang. Sebuah replika pisau komando raksasa tertancap di atas batu karang tampak sangat eksotis, inilah pantai tempat wisuda dan pembaretan Kopassus pasukan elit Angkatan Darat RI. Tahukah anda bahwa LP dengan pengamanan super maksimum yang bernama LP Pasir Putih itu ternyata memang di bangun dekat pantai yang berpasir putih, seputih pasir di Pantai Copacabana. Belum lagi wisata wana dan geologis di alam yang masih sangat natural sampai arena kendaraan 4 WD bergulat melawan bukit, lumpur dan sungai.

Diatas semua itu, ada sebuah kisah yang indah mengenai Pulau Nusakambangan yang merupakan pengalaman pribadi saya.

Lebih dari 8 tahun keluarga kami tinggal di Kota Cilacap pada sebuah perumahan di tepi laut. Tempat yang indah karena debur ombak laut selatan sampai di pantai dekat rumah dengan kondisi ramah setelah ditaklukkan benteng Pulau Nusakambangan. Pagi itu tanggal 17 Juli 2006, saya mendapat tugas luar kota meninggalkan keluarga menuju Kota Balikpapan. Pesawat yang membawa rombongan kami mendarat di Bandara Sepinggan sekitar pukul 17.30 wita, dan sambil menunggu bagasi terdengar Breaking News bahwa telah terjadi tsunami besar di Pantai Pangandaran yang meluluhlantakkan seluruh pantai selatan dari Pangandaran sampai Cilacap bahkan sebagian Pantai Kebumen. Jika bagi para porter di bandara berita itu adalah hal yang biasa, maka bagi saya hal itu adalah luar biasa karena pantai Lautan Indonesia hanya beberapa puluh meter saja dari halaman belakang rumah. Apalagi hubungan telekomunikasi terputus sampai sekitar pukul 19.00, dan baru terdengar berita yang menggembirakan bahwa semua keluarga dalam keadaan baik setelah komunikasi dapat diakses.

Benarkah ada tsunami besar yang menghancurkan Pangandaran sampai Cilacap? Ya.... benar dan tak terbilang kerugian nyawa dan harta. Laporan dari lingkungan perumahan kami hanya cerita bahwa air laut masuk tinggi ke kompleks membawa sampah, bahkan tidak terasa adanya gempa besar yang berskala 6,8 Richter itu. Gelombang besar datang dari arah barat dan Pantai Widara Payung di sebelah timur Cilacap pun hancur. Lalu mengapa Kota Cilacap selamat? Dari simulasi diatas peta maka tampak bahwa gelombang tsunami itu membentur Pulau Nusakambangan, dan sisanya barulah menyapu pantai yang justru berada di sebelah timur Cilacap. Rupanya Pulau Nusakambangan telah menjalankan perannya dengan baik sebagai pelindung Kota Cilacap. Gelombang tinggi telah terjadi di Pantai Permisan dan sekitarnya yang menyeret hilang beberapa narapidana yang sedang di luar LP. Pulau Nusakambangan adalah penyelamat kami para penduduk Kota Cilacap.

Mulai saat itu, bagi saya Pulau Nusakambangan telah mengubah semua persepsi buruk yang ada dalam benak saya selama ini. Nusakambangan yang buruk itu telah diCiptakanNya dengan sangat tepat dan sengaja, untuk menunjukkan Cinta dan PerlindunganNya kepada kami.

Dan agar saya dapat bercerita kepada anda bahwa semua yang diCiptakanNya adalah indah.....

Jumat, Agustus 28, 2009

Gate


Gambar foto disamping ini adalah lukisan buah karya Sekar Langit, putra seniman dan pelukis Sapto Hoedoyo. Lukisan ini oleh pelukisnya diberi judul Gate dan dipamerkan dalam suatu galeri terbuka dan dijual dengan harga penawaran Rp. 90 juta. Ini hanya satu dari belasan lukisannya yang terpampang indah sepanjang dinding galeri. Selain untuk dilihat dan dinikmati oleh para pengunjung, lukisan-lukisan itu juga ditawarkan untuk dimiliki dengan harga yang bervariasi. Ada beberapa lukisan yang masih terpasang namun di sisi bawahnya terpasang juga tulisan sold yang menyatakan bahwa lukisan itu sudah terjual. Pembeli lukisan tampaknya diminta untuk bersabar tidak membawa pulang segera lukisan yang dibelinya itu, agar selama waktu pameran para pengunjung lain masih dapat melihat lukisan sebagai buah karya milik umum. Salah satu lukisan yang sudah ada pembelinya adalah lukisan dengan judul Kesetiaan Istri yang sudah terbeli oleh seorang kolektor dengan harga Rp. 56 juta.

Membicarakan suatu karya seni tampaknya sulit dilepaskan dari gambaran kehidupan para seniman. Mereka sering dibayangkan sebagai sekelompok komunitas manusia yang mencintai keindahan, membebaskan imajinasinya untuk mencari dan menerima keindahan itu sebagai suatu yang alami, diyakini dan bahkan menjadi bagian kehidupannya. Keadaan ini menyebabkan sikap kehidupan merekapun tidak lagi terikat pada satu tata nilai tertentu kecuali keindahan itu sendiri – bahkan ketika keindahan itu hanya dapat dirasakan oleh mereka sendiri. Tidaklah mengherankan jika menurut banyak orang, sikap mereka tidak terpahami. Ketika pakaian yang rapi menjadi nilai yang oleh masyarakat umum dinyatakan sebagai ukuran tata cara berbusana yang baik, mengapa pula mereka tidak mempedulikan gaya, bentuk dan cara berbusana? Ketika orang lain tidur diwaktu malam, mengapa pula mereka betah hidup dan terjaga di tengah malam? Jika ada orang yang mengabaikan bentuk patung yang terkesan asal jadi, mengapa pula mereka mampu mendiskusikannya sampai berjam-jam?

Inilah makna terselubung yang terkadang menjerumuskan pandangan kita, hanya karena nilai (value) yang kita anut ternyata berbeda dengan mereka. Belahan otak (hemisphere) kita yang sebelah kiri – kecuali pada mereka yang kidal – memang berfungsi memberikan batasan yang logis, terukur dan pasti. Sedangkan hemisphere kanan memberikan keseimbangan untuk dapat memahami suatu nilai yang lain. Nilai itu mungkin tidak logis, tapi indah karena berkaitan dengan emosional dan fungsi luhur sebagai Ciptaan Agung Yang Mahakuasa. Apabila telah diciptakanNya 2 sisi otak dengan fungsinya masing-masing, maka tentulah dititahkanNya juga manusia untuk menggunakan keduanya.

Nah.... mari kita melihat lukisan karya Mas Sekar Langit diatas. Apakah yang kita pikirkan dengan lukisan dan harganya itu? Apakah yang terbayang pada pikiran kita timbunan setara 20 ton beras yang seharusnya dibagikan bagi banyak orang miskin, ataukah suatu adakah sesuatu yang indah dalam lukisan itu? Timbunan 20 ton beras dalam benak kita memang suatu yang logis, matematis, dan tidak ada suatupun yang salah karena ukuran umumnya yang memang itu nilainya. Kali ini ada baiknya yang kita ajak bekerja bukan hanya belahan otak kiri saja. Kita seberangkan impuls syaraf melalui jaras-jarasnya menuju otak kanan, untuk mampu melihat sisi lain dari yang logis itu. Lupakan sejenak timbunan 20 ton beras itu karena pada dasarnya anda hanya perlu 1 atau 2 piring nasi saja. Biarkan pikiran kita mengembara membayangkan suatu Gate yang ingin diekpresikan oleh pelukis itu.

Kadang kita memang perlu melepaskan ego kita dalam menilai kehidupan. Biarkanlah lingkungan dan alam yang menggurui kita mengenai keindahan dan harmonisasi. Biarkanlah imajinasi kita mengembara mengenal dunia lain yang penuh keindahan, tanpa harus dibatasi oleh ukuran waktu, tempat, bahkan tata nilai masyarakat umum lainnya termasuk nilai rupiah.

Kemampuan menyeimbangkan yang logis dan yang artistik akan menggiring manusia menemukan jati dirinya sebagai bagian dari ciptaan yang indah. Maka.....bukankah hal itu akan lebih membuka jalan kita untuk mengenal dan mengagumi Sang Pencipta Agung?

Kamis, Agustus 27, 2009

Mendengkur

Snoring atau mendengkur alias mengorok, adalah suara yang dikeluarkan saat seseorang tertidur pulas. Intensitas suaranya dapat terdengar lembut, namun dapat juga terdengar dalam intensitas suara yang cukup keras. Para pakar medis, khususnya yang mendalami masalah telinga, hidung, dan tenggorokan telah lama memberikan perhatian pada masalah ini. Bukan karena berbahayanya “penyakit” ini terhadap keselamatan jiwa seseorang, namun justru karena keadaan ini menggangu orang lain. Bukankah ketika pendengkur tersebut sedang tidak tidur maka gambaran “penyakit” tersebut tak pernah terlihat?

Sebab musabab suara dengkuran berasal dari suatu mekanisme rumit sistem pernafasan. Udara yang masuk dan keluar melalui lubang hidung, rongga hidung, pangkal tenggorok, ruang sekitar pangkal tenggorok dan mekanisme digerakan pita suara, dinyatakan sebagai faktor timbulnya dengkuran. Kondisi inilah yang kemudian mendasari pendekatan pengobatan terhadap keluhan gangguan dengkuran ini. Adakah yang menghambat jalannya aliran udara pernapasan keluar dan masuk jalan napas? Adakah penyumbat di hidung, adakah tulang yang bengkok, adakah penyempitan karena tetumbuhan polip atau daging? Apakah amandel membesar, atau ada sumbatan akibat pembesaran kelenjar di belakang rongga hidung? Bagaimana kondisi pita suara dan organ disekitarnya? Apakah posisi lidah juga menghalangi masuknya udara sehingga tidak cukup ruang untuk masuk pangkal tenggorok?

Dari sisi ini tampaklah bahwa suara dengkuran itu terjadi karena mekanisme kompleks dan (nama kerennya...) multifaktorial. Memberikan obat dekongestan yang melonggarkan jalan napas dari lendir, tidak akan efektif jika di jalan aliran napas itu terdapat benjolan atau penyempitan anatomis. Melakukan operasi amandel untuk membuka lebih lebar pangkal tenggorok, juga kurang bermakna jika pangkal lidah masih tetap “jatuh” menutupi jalan napas. Obat penenang atau pengendur otot, boleh jadi melengkapi rangkaian tindakan untuk mempercepat hilangnya suara yang sering mengganggu (orang lain) itu. Bagi mereka yang beruntung memiliki cukup biaya untuk berobat, mungkin upaya berbiaya mahal pun akan dilakukan demi terbebasnya dari gangguan ini. Namun tentu tidak demikian halnya dengan mereka yang tidak seberuntung karena biaya yang tidak ada.

Meskipun tetap dari sisi subyek yang menderita akibat suara itu, kondisi dengkuran kali ini barangkali dapat direnungkan dari aspek yang lain. Suatu hal yang pasti adalah bahwa suara mendengkur itu hanya terjadi pada mereka yang mengalami tidur yang dalam – tidur yang nyenyak. Sementara banyak orang yang tidak dapat tidur, maka bukankah kita juga harus merasakan bahagia jika ada teman kita yang dapat tidur dengan nyenyak?

Satu hal lagi yang dapat dipelajari dari “penyakit” mengorok ini adalah seperti satu cerita berikut ini. Pada suatu saat didalam diskusi milis di dunia maya ini, forum diskusi mengenai hal ini dibuka oleh seorang istri yang terganggu suara dengkuran suaminya. Dalam beberapa saat diskusi di milis tersebut menghangat, mulai dari anjuran minum obat dan berobat, anjuran operasi dan mengnsumsi terapi herbal lain, sampai anjuran untuk meninggalkan saja si sumber suara dengkuran itu. Namun pada suatu hari diskusi tersebut berhenti, ketika seseorang menuliskan pendapatnya dalam milis, “Mendengar suara dengkuran adalah sesuatu yang menyenangkan. Jika anda tidak percaya, bertanyalah kepada para janda.......”.

Di tengah malam yang hening dan ketika yang terdengar hanya suara dengkuran, dapatkah kita bersujud syukur karena dia yang kita cintai itu pulang, dan dia masih ada.......?

Jumat, Agustus 21, 2009

"Dia Tidak Menanyakan Rematikku..."

Seorang ibu tua berdiri mengantre di deretan panjang seorang teller bank. Seorang petugas Satpam melihat ibu itu yang berjalan tertatih-tatih mencoba berbaik hati menolongnya, “Maaf, bu... apakah ibu akan mengambil uang banyak?” tanyanya. Ah.... tidak kok, nak. Hanya 200.000 rupiah kiriman anak saya bulan ini”, ia menjawab. “Apakah ibu mempunyai Kartu ATM?”. “Ada juga, nak. Ada apa?” ibu tua itu berganti menanya. “Maaf bu, di dekat pintu masuk ada mesin ATM. Ibu dapat mengambil uang disitu tanpa harus lama mengantre seperti ini. Boleh saya bantu?”, kata pak Satpam dengan ramah. “Ya, nak. Terima kasih..... tapi mesin itu tidak pernah bertanya tentang penyakit rematikku...........”, jawab ibu tua itu sambil tetap berdiri dalam barisan panjang antrean.

Kisah ini mungkin sudah pernah kita dengar sebelumnya, yang mengingatkan bahwa sentuhan manusiawi jauh lebih berharga dibanding keteraturan, kekakuan, bahkan kecepatan yang dijanjikan oleh suatu mesin. Cerita ini dapat bermakna pula bahwa bagaimanapun canggihnya mesin dan peralatan, namun jiwa manusia yang mengoperasikannya itu jauh lebih penting artinya. Di dalam keseharian hidup kita saat ini, maka manusia dan mesin peralatan telah menjadi suatu tim kerja sama yang baik dan bersinergi untuk menghasilkan kinerja dan produktivitas yang sempurna.

Pada kenyataannya, makin canggih dan kompleksitas mesin yang tinggi ternyata justru menuntut semakin tingginya kemampuan manusia mengoperasikannya. Pengoperasian mesin pemotong rumput atau vacuum cleaner di rumah semestinya tidak menuntut ketrampilan atau sertifikasi khusus, tapi menjalankan Mesin Hemodialisa yang mencuci darah di RS tentu diperlukan kekhususan perilaku itu. Apa yang terbayangkan jika mesin Hemodialisa yang berhubungan dengan hidup mati seseorang itu dioperasikan oleh orang yang tidak memiliki kompetensi untuk itu? Atau karena sudah “biasa” mengoperasikan atau dengan alasan “biasanya tidak apa-apa ‘kok”, maka seorang perawat yang berkompeten boleh bertindak sembrono? Jawabannya tentu saja.... tidak, bahkan juga pada mereka yang menyatakan sudah berpengalaman

Inilah konsekuensi bekerja sama dan berteman dengan mesin. Ia memang tidak pernah tersenyum dan bertanya tentang Penyakit Rematik seperti teller bank di cerita tadi, dia hanya benda mati. Atas dasar inilah pula maka seharusnya tumpuan terhadap hasil kinerjanya – hanya ada pada manusia yang mengoperasikannya. Adapun hal lain yang menjembatani jarak antara keduanya adalah manual, sistem dan prosedur kerja, bahkan juga kondisi lingkungan kerja.

Banyak diantara kita yang bekerja dan hidup bergaul di lingkungan mesin peralatan yang canggih dengan kompleksitas yang tinggi. Mesin itu hanyalah barang-barang mati yang tidak akan pernah berfungsi tanpa sentuhan manusia. Pada manusia ada hati, ada rasa, ada cinta kerja, dan ada nalar, yang jika disinergikan dengan baik akan membuat mesin menjadi hidup dan merupakan pendorong kuat produktifitas mesin. Cerita tentang ibu tua yang mengantre lama untuk bertemu dengan teller bank ramah yang selalu menyapanya dengan menanyakan sakit rematiknya, mengingatkan bahwa mesin menjadi prioritas nomor dua setelah pekerja yang mencintai pekerjaannya.


Sabtu, Agustus 15, 2009

Bahagia di Balik Kecerdasan


Di bawah ini adalah kutipan tulisan seorang penulis perihal kecerdasan katanya,

"Orang cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban dan menemukan bahwa di balik sebuah jawaban tersembunyi beberapa pertanyaan baru........... Mereka mengarungi alur pemikiran (yang tiada berujung) ini, tersesat di jauh didalamnya, sendirian. Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain. Mereka tidak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap dalam kegelapan itu.

Semakin cerdas, semakin terkucil, semakin aneh mereka. Kita menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit tidak berteman, dan mereka berteriak putus asa memohon pengertian. Ditambah sedikit saja sikap introver, maka orang-orang cerdas semacam ini tak jarang berakhir di sebuah kamar dengan perabot berwarna teduh dan musik klasik yang terdengar lamat-lamat. Sebagian dari mereka amat menderita.

Sebaliknya, orang-orang yang tidak cerdas hidupnya lebih bahagia. Jiwanya sehat walafiat. Isi kepalanya damai, tenteram, sekaligus sepi, karena tak ada apa-apa di situ, kosong. Jika ada suara memasuki telinga mereka, maka suara itu akan terpantul-pantul sendirian di dalam sebuah ruangan yang sempit, berdengung-dengung sebentar, lalu segera keluar kembali melalui mulut mereka.

Jika diserahkan tugas, mereka puas sekali karena telah berhasil memenuhi batas akhir - bukan target terbaik - , dan ketika mendapat nilai (hanya) C, mereka tak henti-hentinya bersyukur karena telah lulus dari tugas itu.

Mereka hidup dalam terang. Sebuah senter menyiramkan sinar tepat di atas kepala mereka dan pemikiran mereka hanya sampai pada batas lingkaran cahaya senter itu. Di luar adalah gelap. Mereka selalu berbicara keras-keras karena takut akan kegelapan yang mengepung mereka. Bagi sebagian orang, ketidaktahuan adalah berkah yang tak terkira......"


(Andrea Hirata, Novel Laskar Pelangi, Cetakan kesepuluh, Oktober 2007. Hal 111 – 113)

Apabila terhadap pernyataan diatas kita mengganggukan kepala dan tidak berpendapat lain, maka makin benarlah suatu harapan yang menyatakan bahwa kebahagiaan dapat dimiliki oleh setiap orang – bahkan untuk mereka yang tidak mencarinya.

Jumat, Agustus 14, 2009

Jambu Mede dan Keterbatasan Logika


Di halaman depan gedung pertemuan di Kota Cilacap tumbuh sebatang pohon Jambu Mede (Jambu Mete, Jambu Monyet) yang saat itu berbuah matang cukup banyak. Kemarin sore saya mengamati di bawah pohon itu berserak lebih dari 15 buah jambu mede yang jatuh karena sudah terlalu matang di pohon. Buahnya utuh, kulitnya merah jingga tua dan halus tanda tidak berulat. Bijinya pun utuh dan besar-besar, katanya bentuk ideal untuk membuat isi Cokelat SilverQueen yang mahal itu. Saya tidak melakukan apapun hanya menatap “sampah” itu, namun saat itu kembali terbayang kenangan puluhan tahun yang lalu ketika masa indah kanak-kanak dirasakan. Waktu itu buah jambu mede seperti ini hampir tidak pernah saya jumpai di pohon. Hal ini karena tanpa sempat menjadi tua ketika kulit buah baru berwarna kuning jingga, pastilah tangan kami telah gatal untuk memetiknya. Dengan bekal sejumput garam maka buah jambu mede setengah matang itu merupakan hidangan lezat tak terkira. Hari itu, meskipun ada dorongan dalam hati ingin memungut buah jambu di depan gedung tapi hati ini terasa untuk berat melakukannya. Mengapa?

Rupanya di dalam benak hati saya tertanam bisikan bahwa sungguh tidak logis kalau saya yang adalah pekerja di sebuah perusahaan dan sudah berumur setengah abad ini memungut buah jambu yang jatuh itu. Logika itu menjadi belenggu tangan dan kaki saya untuk kembali bernostalgia mencicipi buah jambu mede, bahkan yang tersedia di depan mata. Logika dan rasio pada saat itu menjadi penapis masuknya rangsang informasi yang dulu juga merupakan penapis yang sama ketika kita masih kanak-kanak. Nah… inilah yang menarik untuk dicermati.

Seperti kata para cerdik pandai, otak manusia terdiri dari 2 bagian kiri dan kanan dengan berbagai fungsi kegunaannya. Khususnya yang berhubungan dengan fungsi luhur manusia, maka otak kiri sangat berperan dalam segala sesuatu yang berhubungan dengan logika dan matematika. Segala ilmu eksakta, nilai tatanan dan rasio tertata rapi di hemisphere kiri ini. Sebaliknya, di otak kanan tersimpan semua aktifitas yang berkaitan dengan rasa dan keindahan. Emosi, empati, simpati dan rasa indah – tersusun di sisi otak kanan ini. Memang harus diakui bahwa peran otak kanan ini sangat sering menjadi tidak logis karena memang tidak dapat di logika. Apakah anda pernah membaca novel atau cerpen yang membuat anda menangis? Atau menonton meninggalnya tokoh sinetron yang membuat anda mencucurkan air mata, padahal tokoh itu bukan saudara atau kenalan anda? Ya..... perilaku ini ini sungguh tidak logis, tidak rasional namun inilah makna peran otak kanan kita. Selain emosi yang mungkin terkesan cengeng itu, pada otak kanan ini terdapat juga ide, inovasi, dan mimpi – yang memang sering tidak logis – namun dalam sejarahnya ternyata mampu mengubah pola kehidupan umat manusia.

Galileo memang seorang ahli matematika, namun penemuannya mengenai matahari sebagai pusat peredaran jagad raya saat itu memang tidak logis. Ia sebenarnya juga menjabarkan ketidaklogisan Copernicus yang mendahuluinya mengatakan hipotesa yang sama. Saat itu penemuan itu sungguh tidak rasional karena bertentangan dengan logika masyarakat. Ada juga tokoh Socrates yang harus mati minum racun karena pendapatnya tidak logis dan ajarannya dianggap berbahaya bagi masyarakat. Nyatanya, dengan berjalannya waktu pendapat yang dulu dianggap logis ternyata saat ini menjadi tidak logis, dan sebaliknya yang dulu dianggap tidak nalar sekarang menjadi bernalar.

Otak kiri dan otak kanan memang harus dibiasakan berjalan seimbang agar tidak pincang. Kesimpulannya, berlatihlah juga menggunakan otak kanan untuk dapat mengerti bahwa sesungguhnya logika kita terbatas, otak kita tidak dapat menyelesaikan semua masalah rasional. Juga belajar dari para tokoh sejarah, jangan merasa bangga ketika saat ini seolah dapat menjabarkan semua aspek kehidupan menjadi logis dan rasional, karena ada masa yang akan datang di saat mana segala yang logis menjadi justru tidak logis. Biarlah kita memberikan kebebasan pikiran kita untuk menyerap keindahan untuk melahirkan ide, inovasi, dan mimpi.

Bagaimana nasib buah jambu mede di depan gedung pertemuan itu?
Seorang sopir salah satu mobil yang parkir di halaman itu, berbekal tas plastik hitam dengan tenangnya mengumpulkan buah-buah matang yang berjatuhan itu. Apakah orang ini tidak punya logika seperti saya? Dia juga mempunyai logika, namun ia tidak terbelenggu oleh status dan segala atribut lain – yang menyebabkan hilangnya keindahan makan jambu mede.

Lalu siapakah sesungguhnya diantara kami yang saat itu berbahagia?

Alfredo dan Mas Joko


Pengalaman ini saya temui lebih setahun yang lalu disaat di Timor Leste Negara tetangga kita, terjadi peristiwa pemberontakan tentaranya dibawah pimpinan Mayor Alfredo Reinado.

Jika Angkatan Darat mempunyai Kopasus dan Angkatan Laut bangga dengan Marinir mereka sebagai Korps Pasukan Elite, maka Angkatan Udara memiliki Paskhas (Pasukan Khas) yang menjadi andalannya. Kelompok Pasukan Paskhas ini dulu dikenal sebagai Kopasgat yang merupakan pasukan inti pertama untuk menjamin keberhasilan serangan yang diterjunkan di operasi Pembebasan Irian Barat. Ada kebanggaan tersendiri menyandang nama sebagai anggota pasukan elite itu, karena ada jalan panjang dan “harga” yang harus dibayar untuk mencapai sebutan itu.
Benarkah setiap orang akan bangga dengan sebutan itu, dan mampu menyandang konsekuensi dari tugas itu?

Jika ada waktu dan berkesempatan berjalan-jalan ke Yogya, maka di Jalan Urip Sumoharjo (jl. Solo) di dekat Toko Obat Malaya perempatan lampu merah, ada rumah Pangkas Rambut (Barber shop) “Gumbira”. Di tempat itu bekerja Mas Joko seorang tukang cukur yang berusia 35-an. Hasil cukurannya lumayan bagus dan biayanyapun cukup Rp. 5000,- saja. Meskipun terlihat berbadan kecil dan tidak berwajah sangar, namun Mas Joko adalah seorang bekas anggota tentara Pasukan Elite AU – Paskhas – yang diberhentikan karena desersi. Saat itu gejolak di Timor Timur sedang memuncak dan bersama teman-temannya ia direncanakan untuk berangkat ke garis depan. Mas Joko memutuskan menolak tugas itu dan sebagai hukumannya ia dikeluarkan dengan tidak hormat dari tugas kedinasannya.
Nah...... itulah kisah Mas Joko, yang membawa kita pada kesimpulan sementara bahwa ternyata tidak semua orang bangga dengan “sebutan jabatan” yang ia terima sebagai kelompok elite.

Agak berbeda mungkin dengan sosok lain seorang prajurit yang dinyatakan desertir juga bernama Mayor Alfredo Reinado. Reinado adalah mayor dan pimpinan satuan Polisi Militer Angkatan Darat Timor Leste. Setelah beberapa waktu di tahun lalu ia menjadi tokoh dalam berita dunia karena percobaan pembunuhan terhadap Presiden Ramos Horta, akhirnya ia tewas dalam upaya tersebut.

Jika benar bahwa manusia hidup adalah untuk mencari dan menemukan kebahagiaan, maka kali ini kita menjumpai 2 contoh tentara yang melakukan desersi dan yang memilih jalan hidup berbeda. Mas Joko saat ini hidup secara “cukup” dengan istri dan seorang anaknya sebagai tukang cukur rambut di Yogya. Alfredo Reinado gugur dengan kebanggaan bagi dirinya sendiri. Apa maknanya bagi kita?

Kesimpulan berikutnya adalah kenyataan bahwa sebutan dan sandangan nama ternyata “nisbi adanya”. Bukan hanya tidak setiap orang bahagia dengan sebutan yang di mata orang lain tampak begitu indah, tapi juga ternyata sebutan itu menjadi nisbi ketika makna bahagia dipertanyakan untuk siapa hal itu dipersembahkan. Hal ini barangkali karena makna kata bahagia pada sutu orang dengan orang lain adalah berbeda, dan bahagia itu sesungguhnya adalah ukuran yang subyektif – bahkan kadang tidak memerlukan penilaian atau komentar orang lain.

Kesalahan manusiawi kita adalah ketika mencari “jubah” identitas, sandangan yang boleh jadi ternyata terlalu berat bagi kita sendiri untuk memakainya. Kita terjerumus, bahkan menjerumuskan diri kedalam beratnya menyangga beban itu dan baru di belakang hari menyadari ketidakkekalan keberadaan baju itu. Barangkali dialog lakon Drama Panembahan Reso yang dipentaskan oleh WS Rendra dapat mengingatkan akan hal itu, bahwa “....mahkota diatas Kepala Raja berguna untuki menunjukkan kekuasaannya, namun juga dapat berfungsi menutupi kepalanya yang (mungkin) tak berisi...”. Alangkah merananya hidup dalam keterbelengguan nisbi itu.

(Teriring ucapan terima kasih untuk Pak Kopasus yang terambil gambarnya disaat bertugas)

Sabtu, Agustus 08, 2009

Prestasi Si Tempayan Retak

Ini adalah cerita lama yang sumber awalnya sukar dicari, namun maknanya mudah dipahami.

Konon kata shahibul hikayat, pada zaman semua benda dapat berbicara, di dapur Kerajaan Antah berantah bekerjalah seorang pemikul air yang setia. Setiap hari pemikul air berjalan naik turun jalan setapak mengangkut air dengan 2 tempayan di kanan dan kiri pikulannya. Sayangnya, satu tempayannya telah retak dan bertetesanlah air yang dibawa dengan tempayan itu sehingga ketika sampai di dapur kerajaan isi tempayan retak itu tinggal setengahnya saja. Keadaan ini berlangsung terus selama 2 tahun, dan tempayan yang retak itu selalu mendapat penghinaan dan sindiran dari temannya si Tempayan Utuh yang melihat prestasi temannya.
Hal ini membuat Tempayan Retak itu merasa sedih dan berkata pada si Pemikul Air,Tuan, aku sungguh tidak berguna dibanding temanku yang masih utuh itu. Aku tidak akan pernah menghasilkan air sebanyak dirinya, karena tubuhku telah retak. Aku rela jika tuan tidak lagi menggunakan diriku dan menggantikan dengan tempayan air lain yang lebih baik dariku”.
Mendengar kata itu berkatalah si Pemikul Air, “Sahabatku akupun telah mengetahui keadaanmu dan menyampaikan kepada Raja kita untuk menggantikan dirimu, tapi ada suatu hal yang menyebabkan Baginda Raja tidak berkenan menggantimu bahkan beliau mewanti-wanti aku untuk tetap memperkerjakanmu. Ingin tahukah engkau mengapa hal itu diputuskannya?” Tentu saja si Tempayan Retak terperangah dan segera ingin tahu mengapa raja berkenan pada pekerjaannya yang tampaknya tidak sebagus rekannya. Keesokan harinya seperti biasanya mereka berjalan menuju ke mata air untuk mengisi tempayan, sepanjang jalan keberangkatan si Pemikul Air diam seribu bahasa sementara si Tempayan Retak menanti-nanti kapankah ia akan mendengar kisah yang dijanjikan tuannya itu. Ketika dalam perjalanan pulang sambil bertetesan air bertanyalah ia, “Apa yang tuan akan tunjukkan padaku?” Sambil tersenyum berkatalah tuannya, “Apa yang engkau lihat di sisimu sepanjang jalan pulang kita ini?” Setelah beberapa saat mengamati ia berkata dengan gembira, “Tuanku...... saya melihat tumbuh banyak bunga yang sangat indah sepanjang jalan kita, yang hal itu tidak ada pada sisi yang lain”. Berkata pulalah si Pemikul Air, “Nah inilah rahasianya mengapa engkau masih diperlukan bahkan oleh raja. Semula akupun kecewa pada prestasimu yang hanya menghasilkan separuh produktifitas temanmu. Aku berpikir keras bagaimana memanfaatkan kekuranganmu dengan memanfaatkan ceceran air darimu. Selama 2 tahun ini aku menanam benih bunga-bungan sepanjang jalan kita dan ketika tumbuh menjadi tanaman yang subur dan indah, bunga itu kupersembahkan kepada raja dan beliau berkenan menerima dan menanyakan darimana kuperoleh bunga seindah itu. Ketika beliau mengetahui asal muasal bunga yang indah itu, beliau mengagumi kerja sama kita dan ingin tetap menggunakanmu sebagai pengangkut air dan sekaligus penyiram bunga kerajaan”.
Alhasil........... sering kita menganggap diri kita adalah tempayan yang retak, atau orang lain memandang kita kurang berprestasi, namun sesungguhnya di tangan “tuan dan raja pemilik” yang baik semua dapat dijadikan indah pada akhirnya. Jangan pernah menjadi pribadi inferior, karena pada diri kita dititipkan OlehNYA kemampuan yang spesifik dan di MataNya kita semua berguna.
Salam dan hormat saya – Sapto Pudjo Hw

Jumat, Agustus 07, 2009

Bendera di Tempat Sampah

Sapto Pudjo Hw

Tidak terasa Bulan Agustus telah tiba lagi, dengan acara ritual tujuhbelasannya. Kenangan saya di saat masih kecil atas bulan Agustus adalah suasana panas musim kemarau, upacara di tengah terik matahari, bendera yang berkibar dimana-mana, pramuka, baris berbaris, karnaval dan semua kegiatan yang menyentuh jiwa kepahlawanan serta perjuangan.
Pada suatu upacara bendera hari Senin di halaman sekolah SMP Pius Kutoarjo – di saat agustusan – di tahun 1973, terjadi peristiwa yang tidak terlupakan oleh saya sampai saat ini. Rupanya teman petugas yang menaikkan bendera tidak mengikat erat simpul tali tiang bendera, sehingga saat bendera hampir sampai diatas terlepaslah simpul itu dan menyebabkan bendera melayang turun. Tiba-tiba dari barisan guru terdengar teriakan, “Selamatkan bendera.........!” bersamaan dengan melompatnya pak Guru Soenarjono yang dengan sigap segera menyambar bendera sesaat sebelum menyentuh tanah. Bendera itu memang selamat tidak sampai jatuh menyentuh tanah, dan upacara itupun dilanjutkan dengan suasana lebih khidmat.
Bukan karena kebetulan saya seorang anak tentara yang senang kepramukaan, sehingga teriakan peringatan itu masih terngiang di telinga ini. Dulu..... kami diberikan pengertian bahwa Bendera Merah Putih adalah bagian dari lambang-lambang negara yang harus dihormati keberadaannya. Apalagi cerita kepahlawanan dan pertempuran merebut kemerdekaan, selalu membuat hati kami berdebar-debar membayangkan keadaan saat nyawa mereka meregang dalam perang kemerdekaan. Teriakan keras pak guru yang menyelamatkan bendera itu mampu membuat saya merinding tergetar.
Itu memang cerita zaman dulu yang sering menjadi bahan tertawaan jika diceriterakan saat ini, salah-salah malah dianggap awal kepikunan karena mengagung-agungkan masa lampau “Ah...... itu ‘kan dulu, pak”. Saat ini di alam demokrasi dan reformasi keadaan itu seolah sudah berubah. Hampir tidak ada aktifitas demonstrasi dengan melibatkan massa besar, yang tidak membawa bendera merah putih. Jumlah benderanyapun mungkin saja sebanyak spanduk dan poster yang dibawa untuk berunjuk rasa. Ketika sedang berjalan, apalagi terjadi benturan fisik antara kedua belah pihak maka tidak terelakkan lagi bendera itu menjadi alat tawuran diantara mereka. Sungguh......... timbul rasa miris di hati ini, justru karena kenangan masa lalu yang saat ini mungkin sudah ketinggalan zaman. Tapi benarkah sudah sedemikian ketinggalan zaman?
Jika bendera negara itu adalah alat untuk membangkitkan semangat juang, maka dalam sejarah perang mulai zaman Gadjah Mada sampai di Negara Mushasi pun, bendera berada dibelakang pasukan dan diagungkan keberadaannya. Jatuhnya bendera ke tanah dalam peperangan menunjukkan kekalahan pihak itu. Pembawa bendera dilindungi oleh pasukannya, karena mereka ingin tetap melihat panji-panji negaranya berkibar terus. Dalam urusan panji-panji negara yang bernama bendera ini, alangkah berbedanya saat ini dengan masa lalu. Apakah ketidakpedulian terhadap keberadaan bendera berbanding lurus dengan rasa nasionalisme di dada pemudanya? Ah..... alangkah naifnya jika itu bermakna jika jatuhnya kehormatan negara bukan lagi merupakan kepentingan kita. Bahkan membuat sedikit merinding sajapun tak mampu - apalagi pagi ini saya melihat bendera yang diagungkan itu berkibar di tempat sampah.
Salam saya.............. MERDEKA !

Sajak Reformasi

WS Rendra

Karena kami makan akar,
dan terigu menumpuk di gudangmu…
Karena kami hidup berhimpitan,
dan ruangmu berlebihan…
maka kita bukan sekutu

Karena kami kucel,
dan kamu gemerlapan…
Karena kami sumpek,
dan kamu mengunci pintu…
maka kami mencurigaimu

Karena kami terlantar di jalan,
dan kamu memiliki semua keteduhan…
Karena kami kebanjiran,
dan kamu berpesta di kapal pesiar
maka kami tidak menyukaimu

Karena kami dibungkam,
dan kamu nrocos bicara…
Karena kami diancam,
dan kamu memaksakan kekuasaan…
maka kami bilang TIDAK kepadamu

Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana…
Karena kami bersandal,
dan kamu bebas memakai senapan…
Karena kami harus sopan,
dan kamu punya penjara…
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

Karena kami arus kali,
dan kamu batu tanpa hati,
maka air akan mengikis batu


Universitas TRISAKTI, Jakarta 13 Mei 1998