Jumat, Agustus 14, 2009

Alfredo dan Mas Joko


Pengalaman ini saya temui lebih setahun yang lalu disaat di Timor Leste Negara tetangga kita, terjadi peristiwa pemberontakan tentaranya dibawah pimpinan Mayor Alfredo Reinado.

Jika Angkatan Darat mempunyai Kopasus dan Angkatan Laut bangga dengan Marinir mereka sebagai Korps Pasukan Elite, maka Angkatan Udara memiliki Paskhas (Pasukan Khas) yang menjadi andalannya. Kelompok Pasukan Paskhas ini dulu dikenal sebagai Kopasgat yang merupakan pasukan inti pertama untuk menjamin keberhasilan serangan yang diterjunkan di operasi Pembebasan Irian Barat. Ada kebanggaan tersendiri menyandang nama sebagai anggota pasukan elite itu, karena ada jalan panjang dan “harga” yang harus dibayar untuk mencapai sebutan itu.
Benarkah setiap orang akan bangga dengan sebutan itu, dan mampu menyandang konsekuensi dari tugas itu?

Jika ada waktu dan berkesempatan berjalan-jalan ke Yogya, maka di Jalan Urip Sumoharjo (jl. Solo) di dekat Toko Obat Malaya perempatan lampu merah, ada rumah Pangkas Rambut (Barber shop) “Gumbira”. Di tempat itu bekerja Mas Joko seorang tukang cukur yang berusia 35-an. Hasil cukurannya lumayan bagus dan biayanyapun cukup Rp. 5000,- saja. Meskipun terlihat berbadan kecil dan tidak berwajah sangar, namun Mas Joko adalah seorang bekas anggota tentara Pasukan Elite AU – Paskhas – yang diberhentikan karena desersi. Saat itu gejolak di Timor Timur sedang memuncak dan bersama teman-temannya ia direncanakan untuk berangkat ke garis depan. Mas Joko memutuskan menolak tugas itu dan sebagai hukumannya ia dikeluarkan dengan tidak hormat dari tugas kedinasannya.
Nah...... itulah kisah Mas Joko, yang membawa kita pada kesimpulan sementara bahwa ternyata tidak semua orang bangga dengan “sebutan jabatan” yang ia terima sebagai kelompok elite.

Agak berbeda mungkin dengan sosok lain seorang prajurit yang dinyatakan desertir juga bernama Mayor Alfredo Reinado. Reinado adalah mayor dan pimpinan satuan Polisi Militer Angkatan Darat Timor Leste. Setelah beberapa waktu di tahun lalu ia menjadi tokoh dalam berita dunia karena percobaan pembunuhan terhadap Presiden Ramos Horta, akhirnya ia tewas dalam upaya tersebut.

Jika benar bahwa manusia hidup adalah untuk mencari dan menemukan kebahagiaan, maka kali ini kita menjumpai 2 contoh tentara yang melakukan desersi dan yang memilih jalan hidup berbeda. Mas Joko saat ini hidup secara “cukup” dengan istri dan seorang anaknya sebagai tukang cukur rambut di Yogya. Alfredo Reinado gugur dengan kebanggaan bagi dirinya sendiri. Apa maknanya bagi kita?

Kesimpulan berikutnya adalah kenyataan bahwa sebutan dan sandangan nama ternyata “nisbi adanya”. Bukan hanya tidak setiap orang bahagia dengan sebutan yang di mata orang lain tampak begitu indah, tapi juga ternyata sebutan itu menjadi nisbi ketika makna bahagia dipertanyakan untuk siapa hal itu dipersembahkan. Hal ini barangkali karena makna kata bahagia pada sutu orang dengan orang lain adalah berbeda, dan bahagia itu sesungguhnya adalah ukuran yang subyektif – bahkan kadang tidak memerlukan penilaian atau komentar orang lain.

Kesalahan manusiawi kita adalah ketika mencari “jubah” identitas, sandangan yang boleh jadi ternyata terlalu berat bagi kita sendiri untuk memakainya. Kita terjerumus, bahkan menjerumuskan diri kedalam beratnya menyangga beban itu dan baru di belakang hari menyadari ketidakkekalan keberadaan baju itu. Barangkali dialog lakon Drama Panembahan Reso yang dipentaskan oleh WS Rendra dapat mengingatkan akan hal itu, bahwa “....mahkota diatas Kepala Raja berguna untuki menunjukkan kekuasaannya, namun juga dapat berfungsi menutupi kepalanya yang (mungkin) tak berisi...”. Alangkah merananya hidup dalam keterbelengguan nisbi itu.

(Teriring ucapan terima kasih untuk Pak Kopasus yang terambil gambarnya disaat bertugas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar