Jumat, Agustus 21, 2009

"Dia Tidak Menanyakan Rematikku..."

Seorang ibu tua berdiri mengantre di deretan panjang seorang teller bank. Seorang petugas Satpam melihat ibu itu yang berjalan tertatih-tatih mencoba berbaik hati menolongnya, “Maaf, bu... apakah ibu akan mengambil uang banyak?” tanyanya. Ah.... tidak kok, nak. Hanya 200.000 rupiah kiriman anak saya bulan ini”, ia menjawab. “Apakah ibu mempunyai Kartu ATM?”. “Ada juga, nak. Ada apa?” ibu tua itu berganti menanya. “Maaf bu, di dekat pintu masuk ada mesin ATM. Ibu dapat mengambil uang disitu tanpa harus lama mengantre seperti ini. Boleh saya bantu?”, kata pak Satpam dengan ramah. “Ya, nak. Terima kasih..... tapi mesin itu tidak pernah bertanya tentang penyakit rematikku...........”, jawab ibu tua itu sambil tetap berdiri dalam barisan panjang antrean.

Kisah ini mungkin sudah pernah kita dengar sebelumnya, yang mengingatkan bahwa sentuhan manusiawi jauh lebih berharga dibanding keteraturan, kekakuan, bahkan kecepatan yang dijanjikan oleh suatu mesin. Cerita ini dapat bermakna pula bahwa bagaimanapun canggihnya mesin dan peralatan, namun jiwa manusia yang mengoperasikannya itu jauh lebih penting artinya. Di dalam keseharian hidup kita saat ini, maka manusia dan mesin peralatan telah menjadi suatu tim kerja sama yang baik dan bersinergi untuk menghasilkan kinerja dan produktivitas yang sempurna.

Pada kenyataannya, makin canggih dan kompleksitas mesin yang tinggi ternyata justru menuntut semakin tingginya kemampuan manusia mengoperasikannya. Pengoperasian mesin pemotong rumput atau vacuum cleaner di rumah semestinya tidak menuntut ketrampilan atau sertifikasi khusus, tapi menjalankan Mesin Hemodialisa yang mencuci darah di RS tentu diperlukan kekhususan perilaku itu. Apa yang terbayangkan jika mesin Hemodialisa yang berhubungan dengan hidup mati seseorang itu dioperasikan oleh orang yang tidak memiliki kompetensi untuk itu? Atau karena sudah “biasa” mengoperasikan atau dengan alasan “biasanya tidak apa-apa ‘kok”, maka seorang perawat yang berkompeten boleh bertindak sembrono? Jawabannya tentu saja.... tidak, bahkan juga pada mereka yang menyatakan sudah berpengalaman

Inilah konsekuensi bekerja sama dan berteman dengan mesin. Ia memang tidak pernah tersenyum dan bertanya tentang Penyakit Rematik seperti teller bank di cerita tadi, dia hanya benda mati. Atas dasar inilah pula maka seharusnya tumpuan terhadap hasil kinerjanya – hanya ada pada manusia yang mengoperasikannya. Adapun hal lain yang menjembatani jarak antara keduanya adalah manual, sistem dan prosedur kerja, bahkan juga kondisi lingkungan kerja.

Banyak diantara kita yang bekerja dan hidup bergaul di lingkungan mesin peralatan yang canggih dengan kompleksitas yang tinggi. Mesin itu hanyalah barang-barang mati yang tidak akan pernah berfungsi tanpa sentuhan manusia. Pada manusia ada hati, ada rasa, ada cinta kerja, dan ada nalar, yang jika disinergikan dengan baik akan membuat mesin menjadi hidup dan merupakan pendorong kuat produktifitas mesin. Cerita tentang ibu tua yang mengantre lama untuk bertemu dengan teller bank ramah yang selalu menyapanya dengan menanyakan sakit rematiknya, mengingatkan bahwa mesin menjadi prioritas nomor dua setelah pekerja yang mencintai pekerjaannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar