Selasa, September 01, 2009

Di Sebuah Pojok Bahagia


Sekuen gambar foto ini saya peroleh di salah satu sudut Bandara Soekarno Hatta. Seorang pemuda duduk dengan tenang untuk bertelepon di tengah hiruk pikuk lalu lalang penumpang pesawat. Wajah pemuda itu dihiasi senyuman indah yang hanya dia sendiri yang tahu apa maknanya. Di tangannya tergenggam 2 handphone, satu tertempel di telinganya sedangkan yang lain tampaknya siap menggantikan peran handphone pertama jika waktu bicara atau pulsa habis. Hingar bingar suara sepatu dan trolly yang diseret orang yang lewat di depannya, tidak mengusik ketenangannya dan tidak menghilangkan sunggingan senyum di bibirnya. Adalah kebetulan bahwa ternyata mereka yang berlalu lalang itu pun tidak mempedulikan keberadaan sosok pemuda tersebut.

Jika ditilik dari ekspresi dan suasana yang ditunjukkan oleh pemuda itu, maka jauhlah dia dari kondisi yang tidak menyenangkan. Dia tampak senang yang ditunjukkan dari senyum dan tawanya yang sesekali lepas, juga tampak dari gerak mata, bibir dan tangan yang seolah ia sedang berbicara dengan seseorang yang sangat menyenangkan hatinya.

Bagi beberapa orang diantara kita barangkali berpikiran apa manfaatnya menghabiskan waktu berlama-lama di sudut bandara itu? Apakah logis yang dilakukan pemuda itu? Di tengah kesibukan dunia yang berpedoman pada Time is Money, maka sungguh tidak masuk diakal jika ada orang mau yang menghabiskan waktu berpuluh-puluh menit untuk berbicara yang tidak produktif. Mengapa ia tidak mengadopsi Kisah Bill Gates? Konon Bill Gates manusia terkaya di planet ini sering diilustrasikan kesibukannya dengan nilai uang yang diperolehnya. Jika Bill Gates sedang berjalan dan menemukan di jalan yang dilaluinya uang US$ 100 (senilai 1 juta rupiah), maka ternyata ia harus berpikir dua kali. Apakah akan membungkuk untuk mengambil uang tersebut ataukah tetap berjalan, karena untuk membungkuk dan mengambil uang itu ia perlu waktu lebih dari 1 detik padahal penghasilannya saja jika di rata-rata dapat lebih dari US$ 100 per detiknya.

Pada banyak waktu, ternyata manusia sering terjebak pada logika yang membatasinya mengenal aspek lain dari kehidupan. Semua yang dilakukannya selalu dirujuk pada nilai referensi yang dimilikinya – yang bernama logika. Sesuatu yang baginya tidak logis akan menyebabkan ia menyatakan hal itu tidak memiliki nilai, sementara nilai yang dianut itu juga merujuk pada suatu nilai yang barangkali justru tidak bernilai bagi orang lain. Menilai dengan besaran uang – misalnya. Di banyak akhir kisah perjalanan hidup seseorang yang telah berlelah-lelah di bawah terik matahari, sering justru muncul pertanyaan “Untuk semua harta yang kucari inikah aku hidup….?”

Ulasan sekuen seorang pemuda yang sedang mojok, tidak dimaksudkan untuk menafikan segala usaha manusia mencari kehidupan yang lebih baik – lebih dari sekedar senyum dan tawa bertelepon. Gambaran kehidupan lain dari kesibukan bandara internasional yang ditunjukkan oleh keberadaan pemuda itu, ingin mengatakan bahwa keindahan dan kebahagiaan itu sesungguhnya tidak terlalu jauh jaraknya dari keberadaan kita. Inilah sesungguhnya anugerah lain yang ingin ditunjukkanNya kepada mereka yang merasa tak pernah menjumpai keindahan dan kebahagiaan itu.

Jika arah jalan hidup ini adalah untuk mencari kebahagiaan, maka tampaknya pemuda tersebut telah menemukan nilai yang dicari itu - meski cuma sesaat. Ia menemukan di tengah banyak orang yang berjalan sangat tergesa-gesa – justru dalam upaya mereka mencari rasa bahagia itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar