Jumat, September 04, 2009

Bang Djalal dan Pengemis Tua

Pagi itu ada suatu hal yang istimewa. Bang Djalal senior saya di tempat kerja meneteskan air mata. Ia menuturkan kisah perjumpaannya dengan seorang pengemis perempuan tua yang mampu membuatnya layak berurai air mata. Keistimewaannya justru datang dari pribadi Bang Djalal sendiri dan sikapnya yang tidak seperti biasanya. Bagi yang cukup dalam mengenalnya, dia adalah pribadi yang kokoh, pantang baginya minta belas kasihan apalagi berurai air mata karena perjalanan hidupnya menjadi dia yang saat ini adalah jalan hidup yang keras dan tajam. Kehidupan sebagai penyemir sepatu, kernet dan sopir angkot, sampai berdagang, pernah dilakoninya, diusia remajanya. Ketika saat ini telah hidup bahagia dan mapan dangan 3 orang anak yang berbakti, dia masih dapat mengingat semua masa lalunya. Ia menghormati setiap orang yang mau bekerja keras, namun sangat tidak senang pada orang malas dan hanya meminta belas kasihan orang lain. Nah….. baginya pengemis adalah lambang kemalasan itu. Tak terbilang kali ia bersitegang untuk tidak tiap waktu memberi pada peminta-minta, ketika anak-anaknya bersiap membuka kaca mobil mengulurkan uang sedekah.

“Pagi itu seperti biasa saya berangkat kerja lewat Jatiwaringin menuju arah Cawang”, demikian Bang Djalal mulai menuturkan ceritanya. Sudah beberapa waktu ini ada seorang ibu tua yang selalu duduk di perempatan lampu merah, walau hari masih sangat pagi. Ada rasa kasihan tersirat dalam hati, dan saya sudah memberikan uang recehan kepadanya dalam beberapa pagi ini, meskipun saya sebenarnya tidak begitu suka. Tapi pagi ini suasana hati saya agak lain….. Kebetulan saya berangkat agak kepagian, sehingga rasanya masih ada waktu untuk berhenti sejenak. Saya memarkir mobil, dengan penuh rasa penasaran saya datang menghampiri perempuan tua, Pengemis itu. Dari dekat tampak tubuhnya yang renta dibalut baju yang seadanya. “Nek..nenek…! Nenek rumahnya dimana..?” saya bertanya memulai percakapan. Nenek tua itu memandang saya, seakan tidak percaya bahwa ada orang yang mengajaknya berbicara di remang pagi itu. Kepalanya kemudian dimiringkan ke sisi kanan, mencoba mendekatkan telinganya kepada saya dan tahulah saya bahwa kemampuan mendengarnya sudah berkurang.

Sejenak kemudian tahulah saya bahwa nenek itu hidup sebatang kara di kota besar ini. Anaknya 5 orang namun entah kemana mereka semua, tak ada kabar beritanya. Nenek itu tinggal dengan cara mengontrak kamar kecil. “Untuk orang lain sewanya 200 ribu, tapi oleh yang punya nenek dapat potongan jadi cuma 150 ribu rupiah sebulan…..”, kata pengemis itu. Setelah berbicara beberapa saat rasa hati saya semakin tidak karuan dan saya sudah tidak tahan lagi. Sebelum pecah bendungan air mata, saya merogoh saku dan mengambil sebagian besar uang yang ada disaku entah berapa tak sempat saya hitung lagi berapa jumlahnya dan menggenggamkannya ditangan yang berkeriput itu. Nenek tua itu terkejut, matanya membeliak tak percaya, tangan saya direngkuhnya dan digoncang-goncangkan sambil berkata, “Terima kasih…terima kasih…,nak”. Saya segera berpamitan sambil menahan haru dan bendungan air mata jebol saat saya berada dalam mobil, bahkan sepanjang perjalanan ke kantor bulu kuduk ini masih meremang dan saputangan telah kuyup dibasahi air mata yang tak henti berurai.

Satu wajah yang segera tampak di pikiran ini adalah wajah ibu yang sangat saya cintai yang berada jauh di Kuala Simpang. Nenek itu mungkin seusia beliau, jadi saya membayangkan kalau beliau menjadi renta dan papa karena kami anak-anaknya tidak memerhatikan, seperti anak-anak nenek tua pengemis itu. Bukankah nenek tua itu memiliki anak? Bagaimana mungkin mereka semua melupakan ibu yang melahirkan mereka di dunia ini dengan bertaruh nyawa? Adalah kebetulan jika hari ini adalah tanggal 13 Ramadhan 1430 H, artinya bagaimana mungkin mereka menjalani puasanya tanpa membersihkan diri dan mohon pengampunan dari orang yang paling layak dihormati itu…?

Selanjutnya….. apakah masih ada produser reality show di televisi yang akan mampir di perempatan itu untuk memberikan uang kaget atau membedah rumah nenek tua yang sebatang kara itu? Ah…. Itu mungkin harapan muluk Pungguk Merindukan Bulan, namun satu hal yang saya dapatkan pagi ini adalah kaca mobil saya seolah ada yang mengetuk agar saya menoleh dan berhenti untuk memberikan perhatian kepada seorang ibu tua papa yang dalam kesendiriannya.
Sampai disini cerita dari Bang Djalal itu berakhir.

Dia, nenek tua pengemis itu mungkin selama ini tidak berarti bagi kita semua, namun DIA Sang Pemilik Kehidupan ingin menyatakan bahwa di HadiratNya semua insan CiptaanNya itu sangat berharga.

Catatan kecil:
Saat ini Pemerintah Daerah kota ini sedang gencar melaksanakan Perda No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, termasuk menertibkan gelandangan dan pengemis. Mengemis adalah aktifitas yang dilarang, dan memberikan sedekah bagi mereka juga dapat dipidanakan. Semoga ada jalan yang berakhir indah bagi nenek pengemis tua itu.

Sumber gambar: http://soulmate-jie.blog.friendster.com/ dan http://kekecr7.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar