Sabtu, Oktober 03, 2009

Logika Batu ataukah Logika Air



Berikut ini adalah suatu makna keindahan dan perenungan yang pernah diungkapkan dalam tulisan Gde Prama, dan saya tuliskan kembali tentang perilaku kita mengabdi logika.

Tanpa disadari di dalam kehidupan ini kita banyak menjumpai orang berperilaku keras bagaikan batu, dan bukan mustahil orang itu adalah kita sendiri. Alih-alih bersikap tegas, kita justru menjadi keras dan siap berbenturan dengan “batu” lain di keseharian. Semisal pemerintah berbentur keras dengan pihak legislatif, para pengusaha beradu keras pendapat dengan pekerjanya, tokoh masyarakat dan artis dengan media massa, bahkan kitapun membenturkan diri dengan teman sekerja, atasan, bawahan, juga keluarga sendiri. Segala yang tidak sejalan dengan pendapat kita haruslah dilawan dengan berjuang keras, karena hal itu seolah menjadi ancaman keberadaan kita. Di dalam kekerasan nalar maka antar kita dan antar mereka – senantiasa berbentur-benturan seperti bertemunya batu dengan batu yang sering menimbulkan suara keras dan lompatan bunga-bunga api.

Nah..... inilah Logika Batu yang tanpa disadari sering menjadi “Kekayaan Batin” yang seolah terkondisikan sebagai harus dipertahankan, jangan sampai kalah, jangan sampai hilang. Pengertian mendasar dari Logika Batu adalah bahwa kebenaran yang diyakini akan ditemukan dengan jalan melawan. Padahal kekalahan terhadap “batu” lain yang kita bentur sendiri, sering menjadikan hilangnya eksistensi diri, rasa kecewa bahkan frustasi. Lebih jauh lagi rasa ini ternyata justru akan membentuk hati yang lebih keras lagi, dan akan diperlukan lebih banyak lagi energi harus dipersiapkan untuk kembali membenturkan logika batu kita.

Ada logika lain yang layak untuk dicermati, yaitu Logika Air. Ibarat air yang mengalir di sungai ia selalu akan dapat melewati setiap penghalangnya karena kelenturannya. Ia seolah hidup dan menari-nari mengatasi setiap penghalang jalannya. Tubuh manusia yang hidup juga lebih lentur daripada jasadnya ketika mati. Batang pohon yang masih hidup juga lebih indah dan lentur, dibanding batang yang mati. Batang tanaman Bunga Adenium bahkan sedemikian lenturnya, sehingga di tangan yang ahli ia dapat dibentuk dengan indah bahkan kemudian ia dicari untuk dicintai.

Pengertian ini ingin menyatakan, yang masih hidup lebih lentur dari yang sudah mati. Kelenturan lebih dekat dengan kehidupan, bahkan lebih daripada itu – ia lebih mudah membahagiakan. Sebaliknya, kekerasan dan kekakuan justru lebih tepat melambangkan kematiannya.

Haruskah kita membanggakan Logika Batu kita untuk menjalani kehidupan ini? Mengapa tidak ingin belajar memiliki Logika Air yang justru menandakan kita masih hidup? Dengan berlogika batu kita berjuang untuk bertahan dan melawan, sedangkan dengan logika air kita hanya perlu menyesuaikan, sambil terus berjalan maju.

Tapi..... apakah Logika Air itu tidak berarti seseorang yang berjiwa lembek dan lambang ketidakberdayaan?

Seperti halnya batu yang mempunyai kekuatan untuk membentur, maka airpun mempunyai kekuatan yang sama. Dalam keseharian kekuatan itu memang tidak tampak, namun perjalanan hidup membuktikan bahwa kekuatan air itu pula yang mampu membentuk batu atau bahkan mampu menghancurkannya.

Jika dari dua sisi ekstrim sikap hidup manusia ada sikap agresif dan sikap yang pasif, maka letak logika air ternyata adalah pada sikap yang asertif. Jadi..... mengapa harus berlelah membentur-benturkan diri dan menjadi bangga justru dengan berdarah-darah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar