Sabtu, Oktober 03, 2009

Integritas Seorang Sipir Penjara

Kemarin saya berjumpa dengan saudara ipar saya seorang sipir penjara besar dan ternama di negeri ini. Perawakannya tidak tinggi hanya sekitar 155 cm dan badannya kurus, sangat berlawanan dengan bayangan seorang penjaga penjara tempat berkumpulnya para napi kelas kakap yang badannya berotot dan bertato. Umurnya 44 tahun dan sesuai latar belakang pendidikan, pangkat jabatannya sudah “mentok” tidak mungkin naik lagi sampai ia pensiun kelak. Sungguh, ia bukan orang yang berpunya bahkan 2 tiket Bis Sinar Jaya non-AC untuknya bersama anaknya kembali pulang, adalah uang terakhir di sakunya. Namun demikian, ada sorot mata tajam dan senyum yang selalu menghias bibirnya.

“Dik, sebenarnya sebagai sipir penjara narkoba, ada nggak sih temanmu yang juga hidup sepertimu? Bukankah penjara tempatmu bekerja adalah sarangnya penjahat narkoba”, saya bertanya. Agak sukar untuk membayangkan PNS yang bekerja di kota besar lebih dari 25 tahun seperti dirinya, saat ini masih hidup berkekurangan. Sipir lain yang jauh di bawahnya justru sudah hidup mapan dengan memiliki rumah dan kendaraan. Ia hanya menjawab singkat dan datar, “Ada juga sih, satu atau dua orang”. Nah.... lalu bagaimana teman sejawatnya yang selebihnya selain 1 atau 2 orang itu?

Mulailah ia bercerita tentang kondisi kehidupan komunitas di balik nama besar Penjara Narkoba itu. Memang benar cerita investigasi di televisi tentang kebobrokan dan kondisi dunia penjara. Mafianisme, suap menyuap, adalah kondisi yang sampai saat ini masih ada di balik tembok tebal itu. Narkoba masih beredar di depan mata – dan uang beredar dengan omzet seperti pusat perbelanjaan. Kalau saja ia mau ikut arus kehidupan di tempatnya bekerja, maka ia pasti sudah kaya harta dunia. Bayangkan saja, untuk menghantar paket kecil narkoba itu tarifnya Rp. 1 juta,- Paket ini harap diantar 3x seminggu, dan untuk paket yang lebih besar tarifnyapun lebih menggiurkan. Belum lagi “salam tempel” para pengunjung napi yang rata-rata adalah para orang berada.

Banyak sipir yang mengikatkan diri pada “kontrak” itu dan tersusun terstruktur sampai di tingkat atas. Jangan terlalu heran jika tiba-tiba terjadi kerusuhan napi yang ternyata adalah “sandiwara” yang ujungnya adalah dikenakannya sanksi dan mutasi bagi Kepala Lapas – justru karena KaLapas itu orang yang disiplin dan ingin menegakkan hukum. Para napi dan bawahannya tampaknya kompak, untuk menikmati sorga dunia bahkan dengan menyingkirkan atasannya yang ingin berdisiplin.

“Disana banyak para sipir yang menjadi bintang sinetron” demikian tambahnya. Ternyata yang dimaksud adalah para sipir yang perawakannya besar dan sangar. Di saat suasana penjara tenang, mereka beraksi berteriak-teriak, membentak-bentak seolah mempunyai kuasa dan wibawa. Tetapi jika terjadi kerusuhan antar napi, mereka adalah orang pertama yang lari minta perlindungan. “Bagaimana mungkin mereka punya nyali melawan para napi yang selama ini menghidupi mereka”, demikian tambahnya. “Kami inilah yang maju menghadapi mereka, dan mereka segan kepada kami karena mereka tidak dapat membeli kami”.

Dalam perbincangan itu pada akhirnya saya lebih banyak terdiam dan merasa mendapat nasehat oleh dia yang umurnya lebih muda, namun integritasnya sangat membanggakan. Apakah saya juga mempunyai kecintaan terhadap nilai integritas senilai dirinya? Alasan sipir penjara itu untuk tetap bersikap seperti itu ternyata adalah rasa takut. Takut untuk mencelakakan dirinya dan keluarganya sendiri – takut kepada Dia yang Tak Tampak namun selalu Melihat.

Masih banyak lagi perbincangan kami, sampai tidak terasa hari sudah sore dan Bis Sinar Jaya sudah parkir di Terminal Cilacap. Selamat jalan, dik – semoga nasi bungkus yang tadi dibawakan dapat menjadi bekalmu berbuka dan sahur di atas bis nanti.

Cilacap, 14 September 2007

Sumber gambar: http://gokilstory.blogspot.com/

1 komentar:

  1. setiap pekerjaan masing-masing punya resiko. terlalu banyak ujian dan cobaan yang selalu datang menghampiri. bukan saja bercerita soal harta dan juga jabatan yang mumpuni namun lebih dari itu gengsi serta menjilat dan aduh domba sering terjadi.
    dalam menopang karir lebih tunggu. apalagi bekerja di pemerintahan dibutuhkan banyak pendekatan secara persuasif dan tidak menutup kemungkinan dibutuhkan pengengorbanan harta maupun pengabdian. sungguh sangat miris, karena sampai detik ini hal yang demikian masih saja eksis ditengah-tengah konsep kehidupan.
    jujur, profesional dan akuntabilitas merupakan tuntutan dalam sebuah pekerjaan, namun hal ini hanya dongeng cerita bermakna intelek. nyaris hampir semua pekerja pemerintahan merupakan orang-orang berpendidikan tinggi namun tidak memiliki moral dalam menjalani kehidupan, moralitas, harkat dan martabatnya hanya sebatas kuping dan pangan namun jiwanya ibarat buah kedondong.
    ini kisah bukan hanya terjadi apada2 atau 3 orang saja, yang dimana pembunuhan karakter dan penapisan berduri sering mereka alami. mereka bukan tidaK mampuh melakukan hal serupa, namun mereka punya harga diri dan iman yang kuat.

    BalasHapus