Sabtu, Februari 06, 2010

In Memoriam Dr. Wiyana Salman

Sudah lama saya tidak mengisi blog pribadi ini, namun lewat tengah malam tadi (6/2/2010) SMS berdering dengan berita dari Sr. Sumarni, Kepala IGD RS Pertamina Cilacap bahwa sejawat dan teman saya dr. Wiyana Salman telah meninggal dunia, berpulang menghadap HadiratNya. Ruang ICU RS DR. Sardjito Yogyakarta menjadi tempatnya meninggalkan kami semua untuk selamanya.

Siapakah dr. Wiyana Salman, sangat mungkin tak banyak yang mengenalnya kecuali para pasiennya di Kecamatan Kroya dan sekitarnya, atau keluarga Pertamina yang pernah berobat di RS Pertamina Cilacap. Sosok tubuhnya kecil dengan rambut yang sudah 2 warna dan pembawaannya yang pendiam, menyebabkan saya harus mengenangnya sebagai sosok yang "tidak neko-neko". Dalam perdebatan di Rapat Komite Medis, Seminar, apalagi Konggres besar, hampir dipastikan dr. Salman (panggilan akrabnya), tidak pernah bersuara. Suaranya tidak menggelegar, bahkan cenderung lembut sehingga kami sering terkecoh saat bertelepon sedang berbicara dengan beliau atau dengan perawat asistennya.

Pak Salman yang saya kenal hidup dalam perjuangan yang keras. Dia pengabdi pada profesinya, dan lebih dari itu beliau sangat mencintai keluarganya. Panggilan dinas sebagai dokter di luar Jawa diabaikannya, karena kecintaan beliau pada putranya. Dik Agung, putra keduanya menderita Autis dan pak Salman memastikan bahwa Agung akan mendapatkan pendidikan yang layak jika mereka sekeluarga tetap tinggal di Jawa. Pilihan itu memang tidak keliru, karena buah kegigihan perjuangan pak Salman dan istri maka Agung saat ini tak ubahnya seperti anak-anak yang lain. Inilah yang menyebabkan saat ingin mengetahui tentang Autis dan Autisme maka saya seperti menemukan textbook terbaru dan terlengkap dalam diri dr. Wiyana Salman.

Banyak cerita dan kenangan yang saya dapatkan dari sejawat saya ini. Biarlah tulisan ini akan menjadi salah satu cara saya menghormati dan mengaguminya. Foto yang ada dalam halaman ini adalah wajah dr. Wiyana Salman saat melepas kami sekeluarga meninggalkan Cilacap di awal tahun 2009.

Selamat jalan, temanku..... Kami tahu bahwa engkau telah siap untuk menjalani takdir ini. Seorang sahabatmu merekam kata-kata terakhirmu di saat bersama melaksanakan Visite Besar pasien hari Rabu pagi, 3 Februari 2010, "Jika saya harus pergi diatas meja operasi.... saya siap..". Inikah kata pamitanmu pada kami?

Salam dan hormat kami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar